Bali

Pansus DPRD Bali Siap Panggil PT Jimbaran Hijau

Bendesa Adat Jimbaran Ungkap Warga Harus Izin Saat Hendak Sembahyang di Pura

Penaindonesia.net, Denpasar – Sengketa lahan antara warga Desa Adat Jimbaran dan perusahaan pengembang properti dan arsitektur PT Jimbaran Hijau (PT JH) memasuki babak baru. Sejumlah masyarakat setempat melakukan aksi kirab budaya ke sejumlah instansi pemerintah dan menyampaikan Aspirasi ke Gedung DPRD Provinsi Bali, Denpasar Rabu (5/11) siang, terkait penguasaan lahan adat dan pembatasan akses ke pura yang telah berlangsung lebih dari satu dekade.

 

Aksi ini merupakan tindak lanjut dari surat resmi Desa Adat Jimbaran Nomor 08/Pemb-DAJ/X/2025 yang dikirim ke DPRD Bali pada 2 November lalu. Dalam surat tersebut, Bendesa Adat Jimbaran I Gusti Made Rai Dirga Arsana Putra menyatakan bahwa masyarakat akan mengawali kegiatan dengan persembahyangan di Kantor Desa Adat Jimbaran sebelum rombongan bergerak menuju Jimbaran Hub, Kantor Wilayah BPN Provinsi Bali, Kantor Gubernur Bali, hingga ke Kantor DPRD Provinsi Bali untuk menyampaikan aspirasi terkait penguasaan lahan adat oleh PT JH yang selama ini dianggap merugikan hak masyarakat adat, khususnya para petani, nelayan, dan pengempon pura di kawasan tersebut.

 

Menanggapi aspirasi itu, Panitia Khusus Tata Ruang, Aset dan Perizinan (Pansus Trap) DPRD Bali memastikan akan segera memanggil pihak PT JH Hijau untuk dimintai klarifikasi resmi. Ketua Pansus Trap DPRD Bali, I Made Supartha, yang memimpin rapat dan menerima rombongan mengatakan pemanggilan dijadwalkan paling cepat pekan depan setelah dilakukan pengumpulan data dan inventarisasi masalah dari berbagai pihak.

 

“Ya minggu depan lah, kita cek jadwalnya dulu biar nggak tabrakan sama agenda lain. Nanti kita RDP dengan pemerintah yang memberikan hibah dan juga masyarakat. Saya rasa urusan hibah clear, hanya saja pelaksanaan di lapangan yang banyak tantangan,” ujar Anggota Komisi I DPRD Bali ini.

 

Ia menjelaskan, Pansus juga akan turun langsung ke lapangan untuk mengecek kegiatan pembangunan di atas lahan yang disengketakan. “Nanti kita minta supaya pengempon pura bersurat ke Kapolda Bali, dengan tembusan ke Polres dan Polsek terkait, juga ke Gubernur Bali, Wayan Koster, Ketua DPRD Dewa Made Mahayadnya, Komisi I dan Pansus. Setelah surat disampaikan, kita turun sekalian mengecek pembangunan di sana apakah izin-izinnya lengkap, apakah ada pelanggaran tebing dan sebagainya,” jelasnya.

 

Menurutnya, pihaknya ingin memastikan semua persoalan tata ruang dan hak atas tanah di wilayah tersebut diselesaikan secara menyeluruh, termasuk meninjau legalitas hibah dan penggunaan lahan untuk kepentingan komersial. Ia menegaskan tanah adat, terutama yang menjadi lokasi tempat suci seperti pura, seharusnya tidak boleh dibatasi penggunaannya oleh pihak mana pun, terlebih area suci tersebut telah menjadi tempat ibadah turun-temurun.

 

“Orang pura itu memang sudah tempat ibadahnya dari zaman nenek moyangnya. Nggak boleh dilarang-larang. Orang beribadah, kita punya rumah kok malah jadi tamu, kan nggak bener. Jangan sampai orang Bali jadi tamu di rumahnya sendiri, ini contoh nyata,” tukas Ketua Fraksi partai PDIP DPRD Bali ini.

 

Sementara itu, Bendesa Adat Jimbaran, I Gusti Made Rai Dirga Arsana Putra, mengungkapkan kondisi di lapangan memang jauh dari wajar. Sejak lahan tersebut dikuasai oleh PT JH sekitar tahun 2010 atau 2012, warga yang hendak bersembahyang di pura harus meminta izin terlebih dahulu kepada pihak perusahaan.

 

“Kalau misalkan tidak ada petugas yang pegang kunci, yang pegang gembok di portal itu ya nggak bisa masuk. Nah itu yang terjadi. Kami terus menerus berhadapan dengan warga kami yang mengeluh tidak bisa masuk pura untuk sembahyang,” katanya. Pembatasan itu, lanjutnya, berlaku bagi semua umat yang hendak sembahyang, termasuk jero mangku atau pengempon pura. Ia menyebut, kondisi seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya sebelum lahan tersebut dikelola oleh perusahaan.

 

Rai Dirga menegaskan, meskipun pihak perusahaan menyatakan tidak pernah menghalangi warga beribadah, faktanya justru berbeda di lapangan. “Jawaban dari pihak PT JH selalu mengatakan tidak pernah menghalangi orang bersembahyang. Tapi faktanya jalannya dirusak, di depan dipasangkan portal, dikunci, dan seterusnya. Jadi harus izin. Ini kan aneh, kita mau sembahyang kok izinnya kepada orang,” katanya.

 

Selain permasalahan akses, Desa Adat Jimbaran juga menyoroti status hukum tanah yang menjadi sumber sengketa. Berdasarkan data, Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas nama PT JH yang diterbitkan pada tahun 1994 seharusnya telah berakhir sejak 2019. Sejak masa berlakunya habis, pihak desa telah berulang kali mengirim surat kepada perusahaan.

 

Bahkan, pihak desa telah beberapa kali menyurati perusahaan dan meminta klarifikasi kepada BPN, namun belum mendapat jawaban hingga kini. “SHGB yang tidak digunakan atau ditelantarkan selama tiga tahun mestinya sudah kembali kepada negara. Itu aturan pemerintah. Kami berharap negara segera hadir untuk mengambil keputusan sesuai aturan yang ada,” ujar Rai Dirga.

 

Ia mengaku, pihak desa tidak bisa mengambil keputusan sepihak tanpa campur tangan pemerintah, untuk itu pihaknya berharap Pansus DPRD Bali dapat merekomendasikan langkah yang harus diambil negara terhadap permasalahan tersebut. Terlebih tanah tersebut, kata dia, pada awalnya diserahkan oleh Desa Adat Jimbaran dengan bentuk punia sebesar Rp 35 juta, bukan melalui proses jual-beli. Karena itu, pihaknya menilai wajar jika masyarakat kini menuntut kejelasan status lahan yang dulunya diberikan secara sukarela untuk kepentingan pembangunan.

 

“Desa Adat Jimbaran pada saat itu menyerahkan untuk di SHGB-kan dengan konsesi 25 tahun hanya punia Rp 35 juta. Artinya kalau punia Rp 35 juta itu kan bukan jual-beli. Gimana bisa dikatakan jual-beli ini?” ungkapnya.

 

Rai Dirga mengaku telah melakukan berbagai upaya, termasuk menemui sejumlah pejabat dan instansi pusat untuk mengusulkan pencabutan SHGB jika ditemukan pelanggaran peruntukan lahan. Pihaknya juga mengungkapkan, terdapat sembilan pura di kawasan tersebut, di mana tiga di antaranya Pura Batu Nunggul, Pura Batu Layah, dan Pura Batu Mejan, kini benar-benar terhalang akses.

 

Beberapa pura lain, seperti Pura Taksu, masih bisa dikunjungi karena telah dibuatkan akses oleh pihak perusahaan. “Ada satu pura itu, pura Taksu itu dibuatkan memang akses oleh mereka. Nah inilah yang tadi pertanyaan tadi, apakah semua bulat masyarakat mendukung, enggak? Ada pura Taksu yang diberikan akses, kemudian pengempon-nya diberikan ganti tanah. Mereka tentu merasa PT JH itu sudah baik. Ada satu pura yang memang diperlakukan seperti itu, tapi sebelumnya itu ya bertengkar terus juga,” tuturnya.

 

Ditanya terkait mediasi dengan pihak perusahaan, Bendesa Adat Jimbaran menyebut hingga kini belum ada hasil maupun tanggapan lanjutan. Menanggapi hal itu, Ketua Pansus I Made Supartha menegaskan bahwa pihaknya masih pada tahap pengumpulan dan pendalaman data.

 

“Tadi baru pool data, pengumpulan data, dan inventarisasi masalah. Setelah itu kita perdalam dengan bukti manusia, bukti orang. Kita akan panggil pihak-pihak terkait, termasuk BPN dan OPD terkait supaya semuanya jelas. Mudah-mudahan sesuai amanat Pancasila, masalah ini bisa diselesaikan dengan musyawarah mufakat secara kekeluargaan,” pungkasnya.

 

Langkah DPRD Bali melalui Pansus Tata Ruang dan Perizinan ini diharapkan menjadi titik terang dalam penyelesaian sengketa lahan antara Desa Adat Jimbaran dan PT JH, terutama untuk memastikan hak masyarakat adat atas akses tempat suci serta kejelasan status tanah yang telah lama menjadi polemik di kawasan Jimbaran.

 

Menanggapi isu yang berkembang, pihak PT JH melalui kuasa hukumnya, Michael A. Wirasasmita, dan I Kadek Agus Widiastika Adiputra, menegaskan bahwa perusahaan tidak pernah bermaksud menghalangi pembangunan pura atau kegiatan keagamaan di kawasan tersebut. Menurutnya, langkah yang dilakukan PT JH justru bertujuan mencegah potensi penyalahgunaan dana hibah pemerintah yang dapat berujung pada permasalahan hukum.

 

“Kami tidak pernah berniat menghalangi pembangunan pura, apalagi tempat ibadah. Kami hanya ingin memastikan agar penggunaan dana hibah sesuai ketentuan dan tidak salah sasaran,” ujar Michael dan Kadek Agus seusai pertemuan. Mereka menjelaskan, dana hibah sebesar Rp 500 juta dari Pemerintah Provinsi Bali yang difasilitasi oleh Anggota DPRD Bali I Ketut Tama Tenaya harus dipastikan digunakan di lahan yang benar sesuai proposal permohonan hibah.

 

“Kalau sampai dibangun di atas tanah pihak lain, maka dana hibah itu bisa dianggap menyalahi aturan dan merugikan keuangan negara. Imbasnya bisa menyeret banyak pihak, termasuk Pemprov Bali dan Bapak Tama Tenaya yang niatnya justru baik membantu pembangunan pura,” tambah Michael.

 

Ia menegaskan, PT Jimbaran Hijau selama ini justru aktif mendukung kegiatan keagamaan dan sosial di wilayah Jimbaran. Di kawasan pengembangan PT JH sendiri terdapat empat pura yang rutin mendapat dukungan dari perusahaan, baik dalam bentuk bantuan fasilitas maupun partisipasi kegiatan masyarakat. “Kami selalu membantu kegiatan keagamaan di pura-pura yang ada di kawasan kami. Jadi tudingan bahwa PT JH menghambat pembangunan pura jelas tidak benar,” tegasnya.

 

Sikap serupa juga pernah disampaikan Sekretaris Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, I Putu Wirata Dwikora, dalam forum mediasi di Kantor Lurah Jimbaran. Ia menyarankan agar pembangunan pura baru tidak dilakukan terlebih dahulu sebelum status hukum lahan dan laporan pidana yang masih berjalan diselesaikan. “Alangkah baiknya jangan dulu membangun pura karena masih ada laporan penyerobotan tanah. Kalau dipaksakan, malah bisa memicu masalah hukum baru,” ujar Wirata Dwikora saat itu.

 

Sebagai Ketua Bali Corruption Watch (BCW), Wirata juga mengingatkan agar penggunaan dana hibah dilakukan dengan sangat hati-hati, sebab jika tidak sesuai peruntukan dapat menimbulkan persoalan hukum, termasuk dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor). “Kalau tidak sesuai peruntukan, bisa menimbulkan persoalan hukum, termasuk potensi Tipikor. Jadi sebaiknya tunggu semua proses hukum selesai dulu,” tegasnya.

 

Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Ketut Gede Arta juga menekankan pentingnya pertanggungjawaban penggunaan dana hibah. Jika tidak sesuai prosedur, maka realisasi dana bisa diperiksa oleh Inspektorat maupun BPK. Ia berharap agar semua pihak berhati-hati dan mengutamakan penyelesaian yang tidak menimbulkan polemik baru.

 

Sementara itu, sejumlah tokoh masyarakat Desa Adat Jimbaran menyatakan bahwa klaim adanya lahan adat yang bersengketa dengan PT Jimbaran Hijau tidak benar. Mantan Koordinator Baga Palemahan Desa Adat Jimbaran, Wayan Sukamta, menegaskan seluruh tanah milik desa adat telah bersertifikat, totalnya 33 sertifikat dengan luas sekitar 348.273 meter persegi. “Jadi tidak ada tanah adat yang sedang bersengketa dengan pihak mana pun,” ujarnya.

 

Ia menyayangkan adanya pihak yang mencoba menyeret-nyeret nama Desa Adat Jimbaran untuk kepentingan pribadi. “Kalau ada urusan pribadi atau sekelompok orang dengan investor, jangan bawa-bawa nama Desa Adat. Ini bisa menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat,” katanya. Senada dengan itu, tokoh masyarakat Jimbaran lainnya, Made Sudita, menilai kehadiran Bendesa Adat Jimbaran dalam audiensi di DPRD perlu diperjelas. “Kalau datang sebagai pribadi masyarakat, silakan. Tapi kalau mengatasnamakan lembaga desa adat, seharusnya dibahas dulu dalam paruman desa,” sentilnya.

 

Dengan demikian, PT Jimbaran Hijau menegaskan komitmennya untuk tetap menghormati nilai-nilai adat, keberadaan tempat suci, dan hak masyarakat setempat, sembari memastikan bahwa setiap kegiatan yang melibatkan dana publik dilakukan secara transparan dan sesuai aturan hukum. “Kami mendukung kegiatan masyarakat, tapi harus tetap sesuai aturan agar tidak menimbulkan kerugian bagi pihak mana pun,” tutup Michael. (Red)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button