Bali

Ruang Bali Terancam, Praktek Nominee hingga Ekspansi Modal Asing Jadi Sorotan Pansus TRAP DPRD Bali

Penaindonesia.net, DENPASAR – Masifnya alih fungsi lahan di Bali kembali mencuat dalam diskusi publik Forum Peduli Bali bertajuk “Konflik Pertanahan di Bali: Dinamika Alih Fungsi Lahan dan Solusinya” di Denpasar, Rabu, 26 November 2025.

 

Para pemantik diskusi, mulai dari aktivis hingga anggota DPRD Bali, menilai tata ruang Bali berada dalam kondisi kritis akibat melemahnya pengawasan dan derasnya tekanan modal besar.

 

Tiga narasumber hadir dalam forum tersebut, yaitu aktivis dan pengacara Dr. Agus Samijaya, Ketua KPA Bali Ni Made Indrawati serta Ketua Pansus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (Pansus TRAP) DPRD Bali I Made Supartha.

 

Ketiganya memiliki sudut pandang berbeda, namun sepakat bahwa tata kelola ruang Bali semakin rapuh.

 

Praktik Kepemilikan Asing Dinilai Kian Terstruktur

 

Ketua Pansus TRAP DPRD Bali, I Made Supartha menegaskan persoalan pertanahan di Bali semakin pelik akibat ekspansi pemodal besar, khususnya dari luar negeri. Ia menyebut Bali sebagai daerah pariwisata yang selalu mengundang kepentingan besar, termasuk masuknya orang asing dengan kemampuan finansial tak terbatas.

 

Menurutnya, meskipun regulasi nasional telah melarang kepemilikan tanah oleh warga asing, praktik penyiasatan masih marak.

 

“Tapi, pensiasatan oleh mereka itu macam-macam, ada dengan cara nominee dan sebagainya. Ini cara-cara yang harus kita antisipasi,” tegasnya.

 

Ia menyebut keberadaan SEMA No. 10/2020 sebenarnya sudah menutup celah tersebut, namun praktik pengalihan kendali aset tetap berlangsung. Karena itu, ia menilai pengawasan tidak bisa hanya mengandalkan lembaga resmi, melainkan juga partisipasi masyarakat.

 

Alih Fungsi Lahan Melonjak Pasca Pandemi

 

Made Supartha juga menyoroti alih fungsi lahan yang melonjak tajam beberapa tahun terakhir. Padahal, mekanisme pengendalian telah diatur melalui UU No. 41/2009 dan PP No. 1/2011.

 

“Ini kan menyakitkan buat kita semua,” ujarnya, merujuk pada fenomena satu pengusaha menguasai lahan hingga ratusan hektar.

 

Ia menilai pola pikir pemilik modal yang hanya mengejar keuntungan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan menjadi pemicu utama.

 

“Pokoknya punya uang, suka-suka saya mau beli apa,” ucapnya, menggambarkan pola dominasi modal yang mengancam ruang hidup masyarakat.

 

KPA Bali: Petani Makin Terdesak, Reforma Agraria Mandek

 

Ketimpangan penguasaan lahan juga disorot Ketua KPA Bali Ni Made Indrawati. Ia menyebut konflik agraria di Bali telah berlangsung sejak 1990-an dan sebagian besar belum terselesaikan.

 

Menurutnya, petani kini berada dalam posisi paling rentan. Banyak diantaranya hanya mengandalkan lahan 20-25 are, sementara pengusaha dapat menguasai ratusan hektar.

 

“Butuh pendampingan, butuh amunisi yang cukup besar sehingga kedaulatan pangan itu bisa tercipta,” katanya.

 

Ia mendorong DPRD Bali membentuk Pansus Khusus Penyelesaian Konflik Pertanahan, mengikuti langkah nasional yang telah menyepakati pembentukan Pansus Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria.

 

Agus Samijaya: Bali Alami Percepatan Alih Fungsi Lahan 700–1.000 Ha per Tahun

 

Aktivis dan pengacara Dr. Agus Samijaya menilai alih fungsi lahan di Bali telah mencapai tahap mengkhawatirkan.

 

Mengutip data BPS, ia menyebut setiap tahun 700-1.000 hektare sawah produktif beralih fungsi, ditambah perubahan peruntukan 460 hektare kawasan hutan.

 

Menurutnya, berbagai kebijakan nasional justru mendorong komersialisasi ruang, termasuk keberadaan Badan Bank Tanah.

 

“Badan Bank Tanah ini memberikan karpet merah untuk percepatan investasi,” ujarnya.

 

Agus menilai kewenangan lembaga tersebut sangat sentralistik dan berpotensi mengebiri otonomi daerah. Disharmoni regulasi antar-instansi hingga tumpang tindih perizinan disebut memperburuk tata ruang Bali.

 

Ia menegaskan tanah adalah sumber daya terbatas yang seharusnya dikelola berdasarkan kepentingan publik.

 

“Kemiskinan kita sekarang ini sudah menurun, menurun kepada anak cucu,” paparnya mengkritik ketimpangan struktural yang diwariskan pewaris kebijakan.

 

Desakan Penguatan Pengawasan dan Partisipasi Publik

 

Ketiga narasumber sepakat bahwa solusi utama adalah memperkuat pengawasan, sinkronisasi regulasi, serta meningkatkan peran masyarakat sebagai pengawal ruang hidup Bali.

 

Made Supartha menegaskan Pansus TRAP akan terus mendorong penyelarasan persepsi antara aparat, pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat.

 

Agus menambahkan bahwa awig-awig desa adat perlu diintegrasikan ke dalam regulasi tata ruang tingkat provinsi, sehingga pelanggaran dapat dicegah sejak awal, bukan ditangani sebagai masalah yang terjadi belakangan.

 

Forum ini menjadi penanda bahwa tata ruang Bali berada di persimpangan penting. Di tengah desakan investasi besar, masyarakat dan pemangku kepentingan di Bali menegaskan perlunya perubahan arah kebijakan agar ruang hidup pulau kecil ini tidak semakin tergerus. (red).

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button