Replik JPU Mengakui Hak BT, Tapi Pemilik Justru Duduk di Kursi Terdakwa

PENAINDONESIA.NET – DENPASAR | Pengadilan Negeri (PN) Denpasar menggelar Sidang Duplik perkara pidana dengan terdakwa Budiman Tiang (BT), Selasa, 16 Desember 2025.
Sidang yang berlangsung dari pukul 12.00 hingga 13.00 WITA tersebut menjadi tahapan akhir sebelum Majelis Hakim memasuki musyawarah putusan, yang dijadwalkan pada 8 Januari 2026.
Sidang Duplik merupakan jawaban Terdakwa dan Penasehat Hukum atas replik Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam persidangan ini, duplik dinilai memiliki posisi strategis karena menjadi penegasan terakhir pembelaan, khususnya terkait dalil gugurnya seluruh unsur Pasal 372 KUHP tentang penggelapan.
Penasehat Hukum, Gede Pasek Suardika, S.H., M.H., (GPS) dari Berdikari Law Office menilai Replik JPU tidak menjawab fakta-fakta persidangan dan cenderung mengulang Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dinilai telah runtuh dalam proses pembuktian.
Dalam repliknya, JPU menyatakan bahwa kerja sama antara Terdakwa dengan PT SUP dalam pembangunan modul rumah kos The Umalas Signature berlaku selama empat tahun, sejak 1 November 2021 hingga 1 November 2025. Setelah masa tersebut berakhir, kerja sama dinyatakan selesai dan tanah berstatus SHGB beserta bangunan di atasnya kembali kepada Terdakwa.
Namun, hingga akhir pembuktian, Penasehat Hukum GPS menegaskan JPU tidak mampu menunjukkan unsur-unsur pokok penggelapan, mulai dari objek yang jelas, kerugian nyata dan terukur, pihak korban yang dirugikan, hingga keuntungan yang dinikmati oleh Terdakwa.
Dalam duplik, Penasehat Hukum GPS juga menekankan bahwa objek perkara merupakan milik sah Terdakwa, sementara bangunan yang disebut sebagai objek penggelapan justru dikuasai pihak pelapor.
Selain itu, tidak ditemukan adanya niat jahat (mens rea), perbuatan melawan hukum, kerugian, maupun korban yang dihadirkan di persidangan. Dengan demikian, perkara ini dinilai lebih tepat sebagai sengketa bisnis atau perdata yang dipaksakan masuk ke ranah pidana.
GPS juga menegaskan bahwa seluruh unsur Pasal 372 KUHP telah runtuh di persidangan. “Bangunan bernilai ratusan miliar justru dikuasai pihak pelapor. Secara hukum, mustahil seseorang menggelapkan sesuatu yang tidak ia kuasai, apalagi miliknya sendiri,” paparnya.
Ia juga menilai replik Jaksa tidak menjawab fakta persidangan dan hanya mengulang BAP yang tidak lagi relevan. “Tidak satu pun konsumen yang katanya dirugikan pernah dihadirkan di persidangan,” tegasnya.
Selain itu, GPS menyampaikan bahwa gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap Kombes Pol. Rachmat Hendrawan dan Irjen Pol. Daniel Adityajaya telah berlanjut ke pokok perkara. Hal tersebut merujuk pada putusan sela PN Denpasar tertanggal 10 Desember 2025 yang menolak seluruh eksepsi tergugat terkait kewenangan mengadili.
“Ini menegaskan bahwa proses hukum harus berjalan di jalur yang benar. Kami menunggu keberanian hakim memutus berdasarkan fakta dan hukum, bukan tekanan atau bayang-bayang kekuasaan di luar sidang,” ungkapnya.
Penasehat Hukum lainnya, Komang Nila Adnyani, S.H., menilai tidak adanya korban, kerugian, serta bukti keuntungan pribadi terdakwa menjadi alasan kuat bahwa perkara ini tidak memiliki dasar untuk pemidanaan.
Sementara itu, Terdakwa Budiman Tiang justru menyampaikan terima kasih kepada Penuntut Umum karena dalam repliknya menegaskan bahwa kerja sama dengan PT SUP telah berakhir pada 1 November 2025, dan sejak saat itu tanah SHGB beserta bangunan The Umalas Signature atau The One Umalas kembali sepenuhnya kepada Terdakwa. Pernyataan tersebut, menurutnya, merupakan pengakuan hukum dari Penuntut Umum, bukan sekadar klaim pribadi.
Ironisnya, setelah melewati tanggal tersebut, tanah dan bangunan masih dikuasai oleh PT SUP tanpa dasar hukum. Berdasarkan logika hukum yang ditegaskan sendiri oleh Penuntut Umum, penguasaan tanpa hak justru dilakukan oleh PT SUP, bukan oleh Terdakwa. Kondisi ini dinilai sebagai anomali hukum, di mana pemilik sah justru didudukkan sebagai terdakwa.
Perkara Budiman Tiang kini memasuki fase penentuan yang bukan hanya menyangkut nasib Terdakwa, tetapi juga menjadi tolok ukur integritas peradilan. Dengan gugurnya unsur pidana penggelapan dan berlanjutnya perkara PMH ke pokok perkara, publik menanti apakah hukum akan ditegakkan berdasarkan fakta dan keadilan, atau justru membiarkan kriminalisasi sengketa perdata menjadi preseden berbahaya bagi kepastian hukum dan iklim usaha di Bali. (red).



